Ki
Hajar Dewantara merupakan salah satu tokoh pahlawan di Indonesia yang
memperjuangkan bangsa Indonesia dalam memperoleh pendidikan secara merdeka.
Seperti yang ditulis oleh Sujiono (2009:124), Ki Hajar Dewantara lahir pada
tanggal 2 Mei 1889 di Yogyakarta dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Ki Hajar Dewantara
pernah menamatkan pendidikan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda),
kemudian sempat melanjutkan ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera) namun tidak
sampai tamat dikarenakan sakit dan
kekurangan biaya, dan Europeesche Akte Belanda,
Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada tahun 1957 menurut yang
dikemukakan oleh Abbdurrahman (2014). Semasa perjuangannya, Ki Hajar Dewantara dikenal
sebagai penulis yang handal karena beliau telah menghasilkan karya-karya
tulisannya yang dapat membangkitkan semangat antikolonial bagi bangsa
Indonesia.
Dalam
Karir Ki Hajar Dewantara dalam Suyadi &
Ulfa (2013), Ki Hajar Dewantara sempat menjadi
wartawan di beberapa
surat kabar yaitu Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem
Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Dalam masa perjuangannya, Ki Hajar Dewantara
sempat ikut dalam organisasi yang Boedi Oetomo pada tahun 1908, serta pendiri
Indische Partij (pastai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia)
bersama Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo pada tanggal 25 Desember
1912. Setelah pengabdiannya dalam memperjuangkan pendidikan bangsa semasa
hidupnya, Ki Hajar Dewantara wafat pada tanggal 28 April 1959. Beliau mendapatkan
penghargaan sebagai Bapak Pendidikan Nasional, serta tanggal kelahirannya ditetapkan
sebagai Hari Pendidikan Nasional pada
tanggal 2 Mei.
Banyak lika – liku kehidupan yang dialami Ki Hajar
Dewantara dalam memperjuangkan pendidikan. Ki Hajar Dewantara juga pernah
dibuang ke Belanda atas keinginannya sendiri, karena beliau memberontak dengan
tulisan menentang pemerintah Belanda. Tapi di tempat pembuangan, Ki Hajar malah
memanfaatkan kesempatan untuk belajar tentang pendidikan dan pengajaran (Suyadi
& Ulfa, 2013).
Ki Hajar Dewantara
mendirikan perguruan Taman Siswa yang memberikan kesempatan bagi para pribumi
untuk dapat memperoleh pendidikan seperti halnya para priyayi maupun
orang-orang Belanda. Selama masa hidupnya, Ki Hajar Dewantara berjuang dan
mengabdikan diri demi kepentingan bangsa Indonesia dalam memperjuangkan
pendidikan yang merdeka. Pada masa
penjajahan Belanda banyak berdiri Frobel School,
yang mendidik anak di bawah usia 7 tahun. Banyak orang tua terutama pegawai
negeri dan bangsawan memasukkan anaknya ke Frobel
School tanpa tahu maksud dan tujuan menyekolahkannya. Ki Hajar Dewantara
menilai bahwa Frobel School di zaman
Belanda tidak saja sala kedaden (salah tumbuh) melainkan menjadi sekolah bahasa
Belanda.
Setelah Jepang berkuasa, Frobel School terus dilestarikan dan namanya dirubah menjadi Taman
Kanak – kanak (TK) sebagai terjemahan dari kindergarten. Sementara itu Ki Hajar
Dewantara menamakan Taman Indria. Seperti halnya pada masa penjajahan Belanda,
pembelajaran pada masa penjajahan Jepang juga bernuansa Jepang, tidak ada
kekhasan budaya Indonesia. Kemudian setelah kemerdekaan Indonesia, para guru
belum siap benar memasuki suasana baru. Secara informal para guru berusaha
mencari informasi dari teman – teman sejawatnya tentang nyanyian dan permainan
dari sekolah – sekolah nasional. Taman Indria memiliki kesamaan dengan metode
Frobel dan Montessori. Kesamaan tersebut meliputi : 1. Peserta didiknya anak
usia di bawah 7 tahun; 2. Bertujuan mengembangkan rasa tertib dan damai serta
pikiran yang sehat; 3. Kegiatan utama anak- anak adalah menggambar, menyanyi,
berbaris, bermain-main, pekerjaan tangan secara bebas dan teratur; 4. Aktivitas
penunjang lainnya meliputi penciptaan suasana yang menyenangkan berdasarkan
lingkungan sekitar anak (hubungan dari kesesuaian dengan alam kanak – kanak
rakyat sendiri – Ki Hajar Dewantara) (Aqib, 2009:20).
Post a Comment
Post a Comment